JAKARTA - Di tengah hiruk pikuk dunia hukum yang seringkali terasa abstrak, Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia mengambil langkah nyata untuk mendekatkan keadilan kepada mereka yang paling membutuhkan. Sebuah angin segar bagi kelompok rentan dan penyandang disabilitas, yang selama ini mungkin merasa terpinggirkan dalam sistem peradilan.
Pada tanggal 25 Mei 2025, pada forum bimbingan teknis daring, Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung, Y.M. Syamsul Maarif, S.H., L.L.M, Ph.D., dengan lantang menyuarakan tekad MA untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif, di mana setiap warga negara, tanpa terkecuali, memiliki akses yang sama terhadap keadilan.
"Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman memiliki keinginan mewujudkan Indonesia yang inklusif dengan memberikan pelayanan publik yang ramah bagi kelompok rentan/disabilitas, " kata Y.M. Syamsul Maarif, Jumat (23/05/2025), dalam forum bertema “Kebijakan Mahkamah Agung terkait Akses Keadilan (Access to Justice) terhadap Kaum Rentan (Vulnerable Groups)” yang dimoderatori oleh Dr. Muhammad Iqbal, S.H.I., S.H, M.H.I.
Lantas, apa saja upaya konkret yang telah dan akan dilakukan oleh MA untuk mewujudkan visi mulia ini? Y.M. Syamsul Maarif memaparkan sejumlah langkah strategis, mulai dari:
Layanan Hukum Pro Bono: Memastikan masyarakat tidak mampu mendapatkan bantuan hukum yang layak di pengadilan.
Sidang di Luar Gedung Pengadilan: Mendekatkan akses keadilan bagi masyarakat yang terkendala biaya, fisik, atau geografis.
Pos Bantuan Hukum (Posbakum): Menyediakan layanan konsultasi dan bantuan hukum secara gratis.
Asas Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum (PBdH): Memastikan proses peradilan yang sensitif gender dan melindungi hak-hak perempuan.
Pemeriksaan Audio Visual Jarak Jauh (PBdH): Memberikan perlindungan bagi saksi dan korban yang mengalami trauma atau membutuhkan perlindungan keamanan.
Layanan Informasi Publik yang Ramah: Menyediakan informasi yang mudah diakses dan dipahami oleh kelompok rentan.
Sarana dan Prasarana Pengadilan yang Ramah: Menciptakan lingkungan pengadilan yang inklusif dan mudah diakses oleh semua orang.
Lebih jauh lagi, Y.M. Syamsul Maarif menjelaskan tentang pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) penguatan akses terhadap keadilan bagi masyarakat dengan disabilitas dan bantuan hukum bagi kelompok marjinal. MA juga tengah menyusun rancangan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang pedoman mengadili perkara bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum di Pengadilan (PDBdH).
Perma PDBdH ini akan menjadi panduan penting bagi hakim dalam menangani perkara yang melibatkan penyandang disabilitas, khususnya dalam kasus perceraian, poligami, nafkah, dan hadhanah. Penilaian personal hakim akan menjadi pertimbangan krusial, selain itu penyampaian salinan putusan dan pelaksanaan putusan harus mempertimbangkan akomodasi, aksesibilitas, dan komunikasi bagi penyandang disabilitas.
"Perkara PDBdH ditangani oleh Hakim yang telah mengikuti pelatihan penanganan perkara disabilitas, jika tidak ada. Hakim senior atau minat pada isu disabilitas, perempuan dan anak, " imbuh Y.M. Syamsul Maarif.
Komitmen MA ini disambut baik oleh berbagai pihak. Dalam sesi tanya jawab, Pengadilan Agama Dataran Hunipopu menyoroti pentingnya penyediaan penerjemah untuk kaum disabilitas, dan berharap MA dapat mengalokasikan anggaran untuk keperluan ini. Sementara itu, Pengadilan Tinggi Agama Ambon menanyakan tentang kebijakan penganggaran terkait pemenuhan SDM, sarana, dan prasarana pada Pengadilan Tingkat Pertama dalam rangka pemenuhan kebutuhan kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas.
Langkah-langkah yang diambil Mahkamah Agung ini adalah secercah harapan bagi terwujudnya sistem peradilan yang lebih adil dan inklusif. Masih banyak tantangan yang perlu diatasi, namun komitmen yang kuat dan langkah-langkah nyata seperti ini adalah fondasi yang kokoh untuk membangun Indonesia yang ramah bagi semua. (Badilag)